Selasa, 22 Juli 2008

PROBLEM PENGJARAN BAHASA ARAB

PROBLEMATIKA PENGAJARAN BAHASA ARAB DI SMU DAN PEMECAHANNYA Makalah Disajikan dalam seminar regional di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (FS-UM) pada tanggal 21 Oktober 2001
Oleh Muhaiban
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM) FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA ARAB
Oktober 2001

PROBLEMATIKA PENGAJARAN BAHASA ARAB DI SMU DAN PEMECAHANNYA
A. PENDAHULUAN
Perkembangan pengajaran bahasa Arab (PBA) di Indonesia mengalami pasang surut sejak pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 7-8 Masehi sampai pada saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan dan meningkatkan peran bahasa Arab (BA) di negeri ini antara lain melalui pengembang-an PBA, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Sejak tahun tiga puluhan telah dilakukan upaya pembaruan pengajaran BA yang dipelopori oleh Normal School pimpinan Ustadz Mahmud Yunus di Padang Panjang Sumatera Barat, dan Ustadz Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur. Tujuan pembelajaran BA pada saat itu tidak terbatas pada pemahaman dan pendalaman ajaran agama Islam melaui literatur Islam, tetapi juga bertujuan agar para pembelajar memiliki kemahiran berbahasa Arab, terutama berbicara dan menulis. Metode pembelajaran yang digunakan adalah Metode Langsung (Aththariqah al-mubasyarah), dan pada perkembangan selanjutnya digunakan pula Pendekatan Audio Lingual dan Pendekatan Komunikatif mengikuti pembaruan yang terjadi pada dunia pengajaran bahasa (Fuad, 2001). Pada awal dekade tujuh puluhan, usaha-usaha perbaikan pengajaran BA juga dilakukan oleh Departemen Agama dengan lahirnya Kurikulum Madrasah Tahun 1976 yang menetapkan diberlakukannya pendekatan baru dalam pengajaran BA. Pendekatan baru ini meliputi Pendekatan Integrated System dan Pendekatan Audio Lingual (Muhaiban, 1993). Khusus untuk pembelajaran BA di lingkungan sekolah yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sejak tahun 1975 pemerintah berupaya untuk memberikan tempat bagi BA pada Kurikulum SMU, dengan mencantumkan BA sebagai bahasa asing pilihan dalam Kurikulum SMU Tahun 1975. Pada Kurikulum SMU Tahun 1984 BA sebagai bahasa asing pilihan disajikan untuk Jurusan A3 dan A4 selama 4 semester, dan pada Kurikulum SMU Tahun 1994 BA diberlakukan untuk Jurusan Bahasa dengan alokasi waktu 9 jam per minggu selama 2 semester.
Di kalangan perguruan tinggi, PBA mengalami berkembangan yang signifikan. Baik perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Depag maupun Depdiknas, semuanya mempunyai peran yang besar dalam pengembangan PBA melalui penelitian, pengkajian, seminar, penataran, lokakarya dan sejenisnya. Beberapa perguruan tinggi bahkan melakukan percobaan yang berani seperti yang dilakukan oleh UMM dan STAIN Malang. Kedua perguruan tinggi tersebut mencanangkan program tahun pertama perkuliahan dikhususkan untuk BA, dan semua perkuliahan keislaman menggunakan pengantar BA. Atau seperti yang dilakukan Jurusan Sastra Arab UM dengan pembaruan kurikulumnya, dimana selama 2 (dua) semeter pertama mahasiswa “hanya” menempuh 1 (satu) matakuliah kebahasaan yang dikenal dengan Dirasah Arabiyyah Mukatstsafah sebanyak 24 sks. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa upaya pengembangan BA telah terus menerus diupayakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, dengan metode dan pendekatan yang bervariasi. Akan tetapi dalam kenyataannya, perkembangan BA tidak sepesat perkembangan bahasa asing lain. Demikian juga peran yang dapat dimainkan oleh BA belum sebesar peran yang dapat dimainkan oleh bahasa asing lain, misalnya bahasa Inggris. Sementara kalangan juga melihat bahwa BA masih tetap marginal, berada di pinggir dan belum mampu memberikan perannya secara maksimal. Makalah ini berupaya untuk memaparkan kendala atau problematika PBA pada lingkup yang sempit yaitu di SMU, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Kendala tersebut diduga merupakan salah satu sebab “lambannya” pengembangan PBA khususnya pada tingkat sekolah.
B. PROBLEMATIKA UMUM PENGEMBANGAN BAHASA ARAB (BA)
Pada bagian awal makalah ini telah dikemukakan berbagai upaya pengembangan BA di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Pada masa lalu pijakan pengembangan BA yang berupa rumusan PBN memang belum secara kongkrit ada, sehingga hal itu menempatkan BA pada posisi marjinal. Saat ini, dengan dirumuskan-nya PBN 1999 yang menempatkan BA pada posisinya yang signifikan, pijakan
tersebut telah ada dan tinggal menunggu implemantasinya. Kemudian timbul pertanyaan, dapatkah BA- dengan telah adanya pijakan tersebut- berkembang dan menjalankan fungsi dan perannya seperti bahasa Inggris? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini dikemukakan sebagian kecil problematika pengembangan BA dan kemungkinan pemecahannya. Pertama, rendahnya minat kepada BA. Hal itu ditandai dengan relatif kecilnya siswa yang memilih jurusan bahasa Arab di SMU dan rendahnya peminat jurusan satra Arab di perguruan tinggi. Masalah ini dapat disebabkan antara lain oleh minimnya informasi yang diterima oleh masyarakat mengenai manfaat BA. Di samping memang secara faktual kemanfaatan praktis BA relatif rendah dibanding dengan bahasa asing lain. Kecilnya minat terhadap BA juga bisa disebabkan oleh pembelajaran BA yang kurang menarik dan cenderung membosankan. Untuk mengatasi rendahnya minat kepada BA, perlu dilakukan penyebaran informasi mengenai manfaat BA dan luasnya lapangan pekerjaan yang bisa dimasuki oleh para lulusan jurusan bahasa/sastra Arab. Pembelajaran BA di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya selalu diupayakan untuk dapat membuat pebelajar termotivasi untuk menekuni BA, misalnya dengan menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang menarik. Kurikulum BA di berbagai tingkatan pendidikan hendaknya dikembangkan sesuai dengan tuntutan lapangan kerja. Kedua, rendahnya “kebanggaan” masyarakat terhadap BA. Hal itu tampak dari kebijakan yang “tidak menguntungkan” BA yang diambil oleh para penentu kebijakan mulai dari tingkat departemen sampai pada tingkat bawah di sekolah. Rendahnya kebanggaan ini lahir karena sebagaian anggota masyarakat merasa “gengsinya” akan turun dengan BA. Mereka lebih bangga dan merasa modern dan intelek dengan menggunakan bahasa lain, misalnya bahasa Inggris. Untuk mengatasi hal tersebut, para pecinta BA dan lembaga yang bergerak di bidang BA hendaknya dapat menciptakan kegiatan-kegiatan yang berkualitas dan berskala besar yang dapat mendongkrak kebanggaan masyarakat terhadap BA. Ketiga, rendahnya kemampuan guru BA. Rendahnya kemampuan guru BA ini antara lain dapat dilihat dari kualifikasi yang dimiliki oleh para guru tersebut. Hasil penelitian Effendy (1991) antara lain menunjukkan bahwa guru BA di SMU Jawa
Timur 33,4% berpendidikan SLTA/Pesantren, 66,6% berpendidikan tinggi, dan hanya 22,2% yang berkualifikasi sarjana pendidikan bahasa Arab. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualifikasi guru BA misalnya dengan mengikutsertakan para guru dalam (1) program sertifikasi atau penyetaraan, (2) kursus dan pelatihan BA, dan (3) seminar dan lokakarya BA. Problematika pengembangan PBA tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai problematika pengembangan PBA yang ada. Demikian pula upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi problematika tersebut, hanyalah sebagian kecil dari banyak upaya pemecahan yang bisa dilakukan. Pemecahan berbagai masalah tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya kesadaran dan tekad yang kuat dari semua pihak, terutama para pecinta BA termasuk para pakar, pemerhati, peneliti, dan guru BA.
C. PROBLEMATIKA PENGAJARAN BAHASA ARAB DI SMU
Di samping dihadapkan pada problematika umum seperti telah diuraikan di muka, pengajaran BA di SMU juga dihadapkan pada problematika yang lebih spesifik yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan pengajaran. Problematika tersebut muncul pada hampir semua aspek pengajaran. Pada bagian ini akan dikemukakan sebagian kecil dari problematika tersebut sebagai berikut. Pertama, kebijakan kepala sekolah. Dibuka atau tidaknya jurusan BA di suatu SMU sangat ditentukan oleh kebijakan kepala sekolah. Sementara itu kebijakan yang diambil oleh kepala sekolah terhadap BA banyak dipengaruhi oleh sikap, persepsi, dan wawasan kepala sekolah tersebut mengenai BA. Pernah tejadi kasus, sebuah SMU memiliki guru bahasa Arab, minat siswa untuk memilih bahasa Arab juga relatif tinggi, akan tetapi kepala sekolah tidak mengijinkan dibukanya jurusan BA dengan alasan yang tidak masuk akal. Guru BA yang telah tersedia diberi tugas untuk mengajar mata pelajaran lain atau difungsikan sebagai guru BP. Hal itu bisa terjadi kerena mungkin kepala sekolah tersebut tidak memiliki informasi yang cukup mengenai BA. Semoga saja bukan karena pertimbangan “like dan dislike”.
Untuk mengatasi hal itu, perlu kiranya dilakukan pendekatan kepada kepala sekolah oleh pihak-pihak yang peduli terhadap pengembangan BA di sekolah, misalnya jurusan sastra Arab di perguruan tinggi. Jalinan hubungan yang baik antara jurusan sastra Arab di perguruan tinggi dengan SMU, akan dapat menciptakan peluang dibukanya jurusan BA di SMU tersebut. Kedua, hiteroginitas input. Sebagaimana diketahui, siswa SMU berasal dari SMP dan MTs, sehingga pengetahuan dasar BA siswa dalam satu kelas cenderung tidak sama. Siswa yang berasal dari SMP umumnya memiliki dasar bahasa Arab yang rendah, atau bahkan tidak memiliki dasar BA sama sekali, karena di SMP tidak diajarkan BA. Sedangkan siswa yang berasal dari MTs memiliki dasar bahasa Arab yang relatif baik, karena di MTs diajarkan BA. Perbedaan latar belakang sekolah tersebut disamping berpengaruh terhadap motivasi belajar dan daya serap mereka terhadap materi, juga menuntut guru untuk dapat memilih strategi dan metode pembelajaran secara tepat. Untuk menghadapi masalah tersebut, sekolah sebaiknya menyelenggarakan pelajaran tambahan untuk mereka yang memiliki kemampuan BA rendah. Dengan pelajaran tambahan selama kurun waktu tertentu, diharapkan mereka dapat mengejar ketertinggalan. Di samping itu, kemampuan dasar BA siswa dalam satu kelas menjadi relatif homogin. Ketiga, tidak tersedianya buku ajar. Sampai saat ini belum ada buku ajar BA yang diterbitkan berdasarkan kurikulum SMU tahun 1994. Pusat Perbukuan Dikmenum sudah berupaya untuk dapat menerbitkan buku ajar tersebut. Draft buku ajar yang ditulis oleh A. Fuad Effendy dan Muhaiban tersebut sudah jadi (Buku Siswa dan Buku Guru), dan saat ini dalam proses cetak. Dengan tidak tersedianya buku ajar tersebut dapat diduga bahwa PBM berlangsung secara tidak efektif dan tidak efisien. Guru biasanya mencari sendiri bahan pelajaran sesuai dengan kemampuannya, atau menggunakan buku ajar yang tidak sesuai dengan kurikulum. Sementara itu siswa tidak dapat belajar dengan baik di rumah karena tidak tersedianya buku tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut hendaknya para ahli bahasa Arab mempunyai kepedulian untuk menyusun dan menerbitkan buku ajar. Pemerintah hendaknya juga
bersikap adil dalam menerbitkan buku ajar. Selama ini proyek pengadaan buku ajar SMU diutamakan untuk buku-buku selain buku ajar bahasa Arab. Keempat, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran yang kurang tepat. Kurikulum SMU 1994 mata pelajaran BA mengamanatkan agar pembelajaran BA di kelas dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan Komunikatif. Akan tetapi, menurut pengamatan, PBM di kelas-kelas BA berlangsung dengan metode terjamah dan metode gramatikal. Hal itu bisa terjadi karena mungkin guru belum memiliki wawasan yang cukup mengenai pendekatan komunikatif. Atau, mereka sebenarnya tahu tentang pendekatan tersebut, tetapi mereka tidak mau menerapkannya dalam PBM, karena tidak mau “repot-repot”. Untuk mengatasi hal tersebut, guru perlu dilibatkan dalam pelatihan, penataran, lokakarya, dan seminar tentang metode pengajaran. Dengan demikian wawasan mereka mengenai metode pengajaran dapat berkembang, dan kesadaran mereka mengenai pentingnya penerapan metode yang tepat dalam PBM bisa ditumbuhkan.
D. SIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Upaya pengembangan pengajaran BA telah lama dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat malalui pendidikan formal dan non-formal. Pengembangan tersebut terutama dilakukan melalui pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran. Hasilnya memang menggembirakan, terutama pembelajaran BA yang dikembangkan oleh pondok-pondok pesantren modern. Namun demikian, BA masih tetap dalam posisinya yang marjinal sampai saat ini. (3) Pengembangan pengajaran BA banyak mengalami kendala, utamanya berupa kecilnya minat masyarakat terhadap bahasa Arab, rendahnya kebanggaan masyarakat terhadap BA, dan rendahnya kemampuan para guru bahasa Arab. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut diperlukan kerja keras dari semua pihak yang terkait dan peduli terhadap BA. (4) Pengajaran BA di SMU juga menghadapi kendala yang spesifik, yang terkait langsung dengan pelaksanaan PBM di sekolah. Kendala tersebut berupa kebijakan
sebagaian kepala sekolah yang “tidak bersahabat” terhadap BA, hiteroginitas input, ketidaktersediaan buku teks BA, dan penggunaan metode pengajaran BA yang kurang sesuai (5) Apabila semua kendala yang ada tersebut dapat diatasi dengan baik, diharapkan pengembangan pengajaran BA akan berjalan sesuai dengan harapan dan fungsi serta peran bahasa Arab akan meningkat.
DAFTAR RUJUKAN
Effendy, A. Fuad. 2001. Bahasa Arab Dalam Politik Bahasa Nasional. Makalah disajikan dalam seminar PINBA II di UGM Yogyakarta 20- -22 Juli 2001. Effendy, A. Fuad.1991. Pelaksanaan Kurikulum Bahasa Arab SMA Tahun 1984 di Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Malang: Lemlit IKIP MALANG Muhaiban. 1993. Persepsi dan Minat Siswa SMA di Jawa Timur terhadap Pelajaran Bahasa Arab di TVRI. Laporan penelitian tidak diterbitkan. Malang: Lembaga Penelitian IKIP MALANG.

Tidak ada komentar: